Sabtu, 22 Oktober 2011

Berita Pilkada Banten

Hari ini semua koran lokal Banten mengangkat tema soal pilkada gubernur dan wakil gubernur.

Karena tertarik dengan berita terbaru soal politik lokal, tentu saja aku memberi beberapa koran lokal yang cukup punya nama di sini -- berdasarkan pengamatan amatiran bahwa banyak lapak dan kios koran yang menjual merk lokal tersebut -- untuk kubawa pulang dan kubaca. Kabar berita soal pilitik dan kekuasaan (plus hal-hal terkait ancaman terhadap demokrasi) sangat mudah dijual sebagai laporan utama koran, yang berarti oplah koran tersebut akan meningkat pula. Pada masa sekarang, peningkatan sirkulasi koran sangat dibutuhkan para pelaku bisnis berita, bukan?

Yang menjadi hal menarik bagiku adalah betapa berbedanya isi (dan mutu?) dari sebuah koran lokal bila dibandingkan dengan koran nasional, sebut saja KOMPAS.

Artikel opini dan op-ed yang ada di koran lokal membuatku merasa tertantang untuk mencoba menuliskan sendiri sesuatu untuk dimuat. Tak perlu kujelaskan kenapa, kita semua seharusnya cukup tahu saja.

Ditambah beberapa kalimat dalam sebuah artikel koran lokal pada hari ini membuatku penasaran apakah editor koran lokal ini bekerja dengan baik dan bertanggung jawab. Misalnya dengan menyebutkan bahwa pilkada berjalan pada tanggal 22 Oktober 2011 tetapi menceritakan bahwa ada keluarga inti yang pergi bersama-sama mencoblos di TPS.

Yang benar saja!

Bagaimana mungkin pilkada baru tanggal 22 Oktober 2011, lalu koran lokal pagi tersebut juga baru beredar ke konsumen pada tanggal 22 Oktober 2011, bisa ada artikel yang mengisahkan persiapan sebuah keluarga untuk memilih gubernur dan wakil gubernur. Tidakkah merasa aneh dengan deskripsi yang disebutkan, KARENA tidak mungkin terjadi. Masa sebuah koran bisa mengisahkan sebuah peristiwa sepenting pilkada pada hari pilkada itu berlangsung? Timeframe-nya tidaklah sesuai dan ini terasa menggangu. Kecuali wartawan yang menuliskan artikel tersebut bekerja dengan mesin waktu. Sesuatu yang tidak mungkin.

Apakah ada penjelasan lain soal ini?


Senin, 26 September 2011

Using Bad News To Gain Something

The latest bad news that I heard is about a suicide bombing attack at a church in Solo. It was a low level explosion but the bomber died on the site, successfully injuring dozens of people.

I wonder how many people will try to gain something from this very sad news?

People inherently opportunists, that's what I believe, and this incident will trigger people to act according to their own beliefs that will reap maximum gains.

Jumat, 05 Agustus 2011

Berbeda Dan Merdeka 100%

Aku tidak yakin ada banyak orang yang memahami arti mendalam dari Berbeda dan Merdeka 100% yang grafitti-nya bisa kita lihat di beberapa daerah di Jakarta.

Aku tidak yakin pemerintah yang sekarang memahami keinginan untuk bisa Berbeda dan Merdeka 100% yang sebenarnya bentuk dari kebhinekaan yang ada di lambang negara kita.

Aku heran kenapa menjadi beragama, menjalankan ibadah yang benar adalah dengan melarang orang lain menjalankan ibadah.

Membenci, melarang, mengganggu, membakar, merusak. Seperti itukah iman seorang yang taat kepada Tuhan?

Saking lemahnya pemerintahan sekarang, di mana-mana bisa terjadi diskriminasi berdasarkan SARA. Kekerasan terkait SARA. Dibiarkan saja, didiamkan saja, pemerintah yang sekarang sangat lemah pada kelompok-kelompok tertentu. Penegak hukum ciut berhadapan dengan orang-orang yang membawa balok kayu dan melanggar hukum.

Presiden Yudhoyono sebagai sumber petaka ini. Beliau diam saja ketika banyak yang tersakiti. Baru akan tampil bicara bila merasa pribadinya atau keluarganya diserang. Menyedihkan sekali melihat seorang yang pernah begitu diharapkan membawa perbaikan bagi Indonesia tereduksi menjadi seorang yang hanya mampu menyampaikan rasa prihatin tanpa mampu memberikan solusi atau bertindak tegas ketika dibutuhkan.

Kalau memang kita belum Berbeda dan Merdeka 100% sekarang, semoga secepatnya tahun 2014 datang. Kita tak butuh seorang Presiden Yudhoyono lagi dan tak usah mempercayai siapapun yang di-endorse oleh beliau.

Selasa, 05 Juli 2011

Then We Have...

when you cheat, you usually start small.
"this won't hurt no one," your thought assured your conscience.
or maybe, "i am forced to do this. i don't have any other option."
or the common one, "this is one time only."

well, guess what? it isn't.

there'd be the second time, maybe with a slightly different reason, or maybe because of something else. then there'd be the third time.

next time you know, you don't even think twice before you cheat.

and when we put this one person with the tendency of cheating, in the same place with another person that does not cheat, and when we don't punish the cheater when she cheats, let her took advantage, when we gave the same praise for her achievement as the non-cheater, you sure know what will happen.

the non-cheater will start to cheat too. not much, at first. maybe just a little, as a way to level things up. that'd be her reason. yet when we not noticing or even acknowledge the cheats, the inevitable thing would happen.

the cheating escalates.

suddenly, we have two cheaters, maybe even working together for mutual benefit. after all, if everybody's doing it, then the competition will level again and sure, nobody gets hurt, right?

wrong.

everything and everyone will suffer, condition deteriorates, systems broken.

then, we have Indonesia, present day.

Selasa, 24 Mei 2011

Tidak Etis

Kapan bisa kita definisikan suatu tindakan itu tergolong tidak etis bila norma yang dianut oleh kelompok atau golongan si pelaku mengesahkan perbuatannya? Bila kita hendak menempatkan sesuatu sebagai tidak etis, bukankah kita membutuhkan semacam kesepakatan bersama, apakah yang bisa dikategorikan sebagai tidak etis tersebut?

Kalau kita bicara tidak legal mungkin lebih jelas apalagi bila aturan yang dibuat dan masih berlaku, jelas-jelas sudah dilanggar oleh si pelaku. Kalau tidak etis? Runyam. Apa yang etis bagi sekelompok orang, bisa jadi tidak etis bagi kelompok orang lain. Ketidaksamaan pandangan dalam hal ini hanya akan menjadi masalah bila perbedaan digosok oleh oknum provokator dan dijadikan alat untuk memecah-belah persatuan.

Sungguh sulit menjadi Indonesia pada akhir-akhir ini, apalagi kalau mencermati usaha dan upaya yang perlu kita lakukan untuk dapat bertahan hidup. Bahkan dalam kutub ekstrim, kita bisa berhadapan dengan pilihan bertahan hidup dan tidak etis atau bahkan ilegal, atau menolak berlaku tidak pantas sehingga dikucilkan dan dibiarkan hidup dalam kemelaratan?

Mungkin Penulis terlalu pesimis atau memandang segala hal dari sisi negatifnya saja. Tetapi bukankah hal seperti ini lebih baik daripada diam dan tidak bersikap sama sekali? Nah untuk hal yang satu ini secara etis rasanya masih dapat diperdebatkan.

Minggu, 08 Mei 2011

Pemimpin Dan Korupsi

Korupsi sistemis di Indonesia ada di pemerintahan, lembaga legislatif, peradilan, dan partai politik. Korupsi ini terasa sangat sulit diberantas karena kita tak memiliki figur kuat sebagai pemimpin dalam perang melawan korupsi. Para pemimpin kita saat ini sekedar berwacana dalam pemberantasan korupsi dengan tindak nyata yang juga sekedarnya (untuk mengatakan tidak ada).

Kebutuhan kita akan pemimpin kuat yang berani melawan korupsi ini mutlak. Demokrasi yang kita miliki saat ini terancam kalau persoalanan korupsi ini tidak juga dihadapi dengan perlawanan yang lebih kuat lagi. Bahkan saat ini mulai ada kelompok-kelompok ekstrem yang memanfaatkan keadaan untuk kepentingan mereka dengan mengklaim bahwa demokrasi tidak cocok untuk Indonesia karena menyuburkan korupsi dan menyengsarakan rakyat.

Ketidakhadiran tokoh kuat yang berani memimpin kita dalam perang melawan korupsi akan menyebabkan keadaan semakin buruk yang berakibat makin kerasnya tuntutan kelompok ekstrem dan makin banyak bukti atas klaim mereka. Menguatnya suara kelompok ini menambah posisi tawar mereka kepada penguasa yang melakukan korupsi yang kemudian berusaha melakukan deal-deal tertentu untuk mempertahankan posisi mereka yang pada akhirnya berujung pada lebih banyak korupsi. Jadilah kita berputar-putar dalam lingkaran setan. Ujungnya? Negara ini bisa bubar.

Lemahnya komitmen pemerintah, legislatif, peradilan, dan partai politik dalam perang melawan korupsi adalah kesalahan besar yang sangat mahal harganya. Apakah akan ada perubahan?

Minggu, 01 Mei 2011

Waspada Politik Dinasti

Sungguh tak menyenangkan buatku pribadi membaca berita seperti ini.

Negara kita berbentuk republik yang demokratis. Memang sebenarnya hak setiap warga negara mengajukan dirinya menjadi pemimpin. Kita punya hak untuk memilih siapa (atau tidak memilih siapapun) untuk menjadi wakil kita atau menjadi pemimpin kita.

Tetap saja seharusnya kita belajar dan diberi pendidikan politik dan berdemokrasi yang dewasa. Atau kita mencari tahu sendiri dengan sumber yang dapat diakses. Seharusnya kita waspada dengan keadaan sekarang ini di politik kita. Lebih waspada lagi dengan ke arah mana negara ini menuju. Sebuah republik yang dikuasai kelompok-kelompok keluarga yang berusaha mempertahankan tampuk kekuasaan ada di tangan mereka selama mungkin.

Dinasti? Seperti kerajaan saja. Oligarki? Mirip.

Menakutkan karena dengan bersama-sama menguasai pemerintahan suatu daerah akan menyebabkan mekanisme kontrol yang tadinya sudah sulit untuk berjalan akan semakin tak berfungsi lagi. Hal seperti inilah yang harus diwaspadai. Apalagi sebagai suatu negara yang masih belajar berdemokrasi. Sialnya, penegakan hukum di sini masih lemah dan ada saja oknum-oknum yang berorientasi hanya untuk mengeruk keuntungan bagi diri sendiri dan bukannya menegakkan hukum seperti yang diamanatkan.

Terdengar seperti penuh prasangka memang. Tapi tak bisa dipungkiri bahwa dengan keadaan seperti sekarang ini, yang harus dilakukan adalah perbaikan keseimbangan kekuasaan yang tersebar tetapi bertujuan demi sebesar-besarnya kemakmuran SELURUH rakyat -- bukan cuma kemakmuran segelintir elit penguasa daerah dan kroninya.

Lihatlah keadaan Banten sekarang. Tanyakan kepada diri sendiri atau pada penduduk setempat:

Apakah ada perbaikan nyata yang terasa? Apakah pemimpin-pemimpin yang sekarang ini selama masa menjabatnya telah melakukan terobosan birokrasi yang berarti? Apakah ada peningkatan taraf hidup masyarakat yang dipimpinnya? Apakah kehidupan masyarakat lebih baik?
Rekan kerjaku baru kembali dari area Banten Selatan dan dia menyampaikan bahwa keadaan jalan malah semakin buruk dan kota kecamatan yang dikunjunginya pada tahun 2007 cenderung masih statis tanpa perkembangan dan pembangunan yang berarti. Lalu kalau begitu selama sekitar tiga tahun terakhir ini apa saja yang sudah dilakukan Gubernur Banten?

Kalau menurut penilaian pribadi kita ternyata tidak cukup banyak, apakah nanti kita akan tetap memilih orang yang sama untuk menduduki posisi yang itu lagi? Atau apa kita akan cukup berani -- atau malah tidak peduli sama sekali -- berjudi dengan taruhan sekian tahun ke depan hidup kita, mendudukkan orang yang sama sebagai pemimpin?

Kapan kita bisa bijaksana dalam menentukan pilihan untuk diri sendiri? Kenapa tidak ambil saja bantuan yang diberikan dan dana yang dibagi-bagikan (bila ada) namun tetap memilih dengan hati yang jernih dan pikiran yang bijak?